â€ëœloverã¢â‚¬â„¢ by Taylor Swift Review Getting to the Heart of Pop

Review album folklore Taylor Swift menilai kelihaian dalam membuat lirik lagu berbalut musik yang sederhana namun mengena jadi sajian utama dari album ini. Review anthology folklore Taylor Swift menilai kelihaian dalam membuat lirik lagu berbalut musik yang sederhana namun mengena jadi sajian utama dari album ini. (dok. Taylor Swift/Beth Garrabrant)

Jakarta, CNN Republic of indonesia --

Kelihaian Taylor Swift dalam membuat lirik lagu dan dibalut musik yang sederhana namun mengena menjadi sajian utama dari album kedelapannya, sociology, yang dirilis sebagai kejutan pada Jumat (27/7) lalu.

Swift bukan hanya mengejutkan penggemarnya karena tak pernah memberi kabar terkait pengerjaan anthology folklore, namun ia kembali berganti genre. Kali ini ia beralih ke folk dan alternatif.

Pergantian ini menjadi yang kedua kalinya dilakukan oleh Swift, setelah beranjak dari country ke pop lewat 1989 (2014). Meskipun sebelumnya Swift pernah merilis lagu folk, Safe and Sound pada 2011 yang menjadi lagu tema The Hunger Games.


Namun yang berbeda pada perubahan genre kali ini, Swift tak perlu lagi membuat album 'peralihan' seperti dalam Red (2012) yang mencampurkan popular, country, rock.

Lewat folklore, Swift berganti genre semudah itu. Bak berganti baju, Swift seolah tak perlu upaya keras untuk masuk ke ranah alternatif, seperti folk, tanpa kehilangan jati diri apalagi kehilangan pasar.

Justru, genre ini seperti membuka lebih luas potensi dalam diri Swift.

Kekuatan lirik naratif yang sudah menjadi modalnya sejak album debut pada 2006 tereksplorasi dengan baik berkat menggandeng dua musisi genius, Aaron Dessner dan Jack Antonoff.

Nama Antonoff sudah tak asing bagi penggemar Swift karena keduanya telah menghasilkan album 1989, reputation (2017), dan Lover (2019). Namun dengan Dessner, album folklore adalah kolaborasi pertama Swift dengan pentolan The National itu.

Kolaborasi Swift dengan Antonoff dan Dessner ini pun kemudian menghasilkan jajaran musik yang unik dalam sociology. Secara umum, ada dua nuansa yang berbeda terasa dalam album ini.

Nuansa folk, indie-folk, serta instrumental jelas dipengaruhi oleh Dessner dan terlihat dalam sejumlah lagu seperti the one, cardigan, exile, seven, dan invisible cord.

Sementara itu, nuansa yang lebih pop, synth-pop, keluar dari kolaborasi bersama Antonoff, seperti di mirrorball, my tears ricochet, august, this is me trying. Lagu-lagu yang digarap oleh Antonoff juga masih mengingatkan akan sejumlah lagu dalam reputation juga Lover.

NEW YORK, NEW YORK - MAY 16: Aaron Dessner of The National attends The Kitchen's 2019 Spring Gala at The Kitchen NYC on May 16, 2019 in New York City.   Jamie McCarthy/Getty Images/AFPReview album folklore Taylor Swift menyebut nuansa folk, indie-folk, serta instrumental jelas dipengaruhi oleh Aaron Dessner dan terlihat dalam sejumlah lagu seperti the 1, cardigan, exile, seven, dan invisible string. (AFP/Jamie McCarthy)

Hal inilah yang menjadi bukti kegeniusan Taylor Swift dalam merancang sebuah album yang berganti genre.

Ia masih menggandeng kolaboratornya kala di musik popular, Antonoff untuk tetap bisa menggaet pasar yang sudah didapat lewat musik arus utama itu. Lagu kolaborasi dengan Antonoff pun disesuaikan dengan eleven lagu yang Swift buat bersama Dessner.

Hasilnya, lima lagu yang dibuat Swift bersama Antonoff masih 'nyambung' dengan sebagian besar lagu lainnya dan membuat sociology menjadi album yang kohesif tanpa kehilangan jati diri seorang Taylor Swift.

Berbicara soal jati diri Taylor Swift, anthology folklore juga masih menyimpan sisi state musisi itu lewat lagu betty. Lagu yang digarap keroyokan oleh Swift, Dessner, dan Antonoff ini memiliki cita rasa state-popular yang sudah ia bawa dari Fearless (2008), Speak At present (2010), dan Blood-red (2012).

BROOKLYN, NY - OCTOBER 05: Jack Antonoff speaks onstage during the 2018 New Yorker Festival on October 5, 2018 in Brooklyn, New York.   Brad Barket/Getty Images for The New Yorker/AFPDalam folklore, Taylor Swift masih menggandeng kolaboratornya kala di musik pop, Jack Antonoff untuk tetap bisa menggaet pasar yang sudah didapat lewat musik arus utama itu. (AFP/Brad Barket)

Cinta Segitiga

Melalui folklore, Taylor Swift tak lagi hanya mengisahkan soal kehidupan pribadinya. Bahkan, sebagian besar lagu dalam album ini adalah rekayasa dan hasil imajinasinya sendiri.

"Dalam isolasi, imajinasi saya telah menjadi liar dan hasilnya adalah album ini," kata Swift dalam pengumuman folklore di media sosial, beberapa jam sebelum dirilis.

"Saya kemudian bukan hanya menulis kisah saya sendiri, namun juga menulis soal atau dari perspektif orang yang tak pernah saya temui, saya ketahui, atau mereka yang saya harap tak pernah saya miliki," katanya.

[Gambas:Instagram]

Keputusan ini terbilang menarik, mengingat selama bertahun-tahun Taylor Swift selalu disebut mengandalkan kisah percintaannya atau kejadian dalam hidupnya sebagai materi lagu, seperti dalam Milkshake Information technology Off (1989), Look What You lot Made Me Do (reputation) dan ME! (Lover).

Kali ini, ia bak mematahkan tudingan tersebut.

Salah satu 'senjata' Swift untuk mematahkan tudingan itu adalah lagu cardigan. Lagu yang menjadi lead unmarried dari album folklore ini disebut merupakan hasil imajinasi Swift atas kisah cinta segitiga yang dialami oleh tiga remaja imajinatif yang sempat disinggung Swift kepada penggemar.

Beberapa lagu lainnya yang diyakini bukan dari kehidupan pribadi Swift adalah the last great american dynasty, exile, august, illicit affairs, epiphany, dan betty. Hasil imajinasi Swift itu punya beragam tema, mulai dari kisah rumahnya sendiri, kisah dari kakeknya, hingga pertengkaran antar mantan kekasih.

[Gambas:Youtube]

Namun segala imajinasi itu digarap oleh Swift dengan cerdas dan puitis bak novel, seperti dalam kisah cinta segitiga yang disebut Swift diwakili tiga lagu yang masing-masing mewakili perspektif tiga remaja itu.

Saya sendiri yakin tiga lagu itu adalah cardigan yang mewakili sudut pandang seorang gadis bernama Betty, kemudian lagu betty yang mewakili sudut pandang laki-laki bernama James.

Kemudian lagu august yang mewakili sudut pandang perempuan ketiga antara Betty dan James. Sebagian penggemar meyakini orang ketiga itu bernama Inez.

James dan Betty dikisahkan memiliki asmara antara keduanya. Hingga kemudian James berselingkuh dengan perempuan lain. Betty pun mencampakkannya dan menyadari bahwa laki-laki itu bukanlah yang terbaik untuknya.

[Gambas:Youtube]

"A friend to all is a friend to none / Chase two girls, lose the one / When you are young, they assume y'all know nothing//" lantun Swift dalam cardigan.

"In the garden, would yous trust me / If I told you lot it was just a summer thing? / I'm merely seventeen, I don't know anything / But I know I miss y'all //" lantun Swift dalam betty seperti menjawab lirik dalam lagu cardigan.

Sementara itu, Swift juga menggambarkan perasaan cinta yang bertepuk sebelah tangan yang dirasakan 'selingkuhan' James. Hal itu tergambar dalam lagu august.

"Back when we were still changin' for the better / Wanting was enough / For me, it was enough / To live for the hope of information technology all / Canceled plans simply in instance yous'd phone call / And say, "Meet me behind the mall" / Then much for summertime love and proverb "us" / 'Cause you weren't mine to lose / You lot weren't mine to lose, no//" lantun Swift dalam august.

[Gambas:Youtube]

Cara naratif yang dilakukan oleh Swift ini seperti menjadi babak baru dalam cara musisi kelahiran thirteen Desember 1989 itu merancang lirik sebuah lagu.

Album folklore menunjukkan bahwa satu lagu dengan lagu lain bisa seperti babak-babak dalam sebuah novel, dan Swift membuat pendengar untuk mencermati liriknya kemudian tenggelam dalam kisah dalam lagu itu berkat melodi juga nada yang disertakan.

Hanya satu catatan, 16 lagu dalam folklore selama 64 menit mungkin akan terasa lama bagi mereka yang bukan penggemar berat Taylor Swift ataupun penggemar lagu ballad/folk/alternatif.

Emosi

Meski begitu, durasi yang cukup lama itu tertutup oleh kemampuan album ini mentransfer emosi dan cerita lagu-lagunya dengan amat baik. Hal ini jauh lebih baik dan berkembang bila dibandingkan dengan Red (2012), album Taylor Swift yang saya anggap amat emosional sebelumnya.

Salah satu bukti kemampuan folklore itu ada dalam lagu exile yang dibawakan Taylor Swift dengan band Bon Iver.

[Gambas:Youtube]

Meski menggunakan cara percakapan antar kekasih seperti The Concluding Time dalam Red (2012), lagu exile memiliki emosi yang lebih tersampaikan tanpa harus bermain dalam nada vokal.

Pilihan Swift untuk mengajak Bon Iver juga sebuah pilihan tepat. Suara Justin Vernon yang berat nan seksi membuat emosi lagu ini lebih membuncah. Sementara itu, Swift pun memiliki vokal yang lebih matang dalam anthology ini.

Selain itu, volume suara Swift dengan Vernon yang seimbang dalam lagu ini membuat saya lebih nyaman untuk menikmati dibanding ketika mendengar ia berduet dengan Gary Lightbody dalam The Terminal Time.

Kemudian ada pula gejolak emosi dalam diri yang disampaikan lewat lagu my tears ricochet sebagai lagu kelima, tempat favorit Swift menaruh lagu yang ia anggap paling emosional.

My tears ricochet sekilas mirip dengan The Archer dalam Lover (2019) yang sama-sama dikerjakan Swift dengan Jack Antonoff, salah satunya ketika dimulai hanya dengan vokal kemudian secara perlahan instrumen mulai masuk.

[Gambas:Youtube]

Namun saya lebih menyukai my tears ricochet dibanding The Archer dan lagu 'Track 5' lainnya, karena lebih megah, lebih berkonflik dalam batin, dan diakhiri dengan cara yang sedih namun indah.

Akhir yang sedih namun indah juga diberikan oleh Swift dalam dua lagu terakhir dalam album ini: peace dan hoax. Keduanya seperti rangkaian lagu penutup dari kisah folklore yang mencapai puncak dalam lagu betty.

Lagu peace dan hoax tak seperti lagu-lagu sebelumnya yang membawa emosi serta imajinasi. Dua lagu ini lebih terasa seperti perenungan Swift atas segala yang terjadi dalam hidupnya.

Dengan dominasi dentingan piano pada dua lagu ini, Taylor Swift seolah memberikan pengantar tidur untuk menutup berbagai kisah dan lagu indah yang ia hadirkan dalam sociology, sebuah album kejutan di tengah pandemi.

[Gambas:Instagram]

(end/end)

johnsongrespear.blogspot.com

Source: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20200803172338-227-531719/review-album-taylor-swift-folklore

0 Response to "â€ëœloverã¢â‚¬â„¢ by Taylor Swift Review Getting to the Heart of Pop"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel